Ini Aku - Permata yang berdebu 2


    Berlinang airmata, saat mengingat kisah singkat yang tak sengaja ku baca dilembar dunia sepuluh jari kompasiana. Kisah tentang Sayyidina Husein yang dimasa kecilnya sempat cemburu pada kakaknya Sayyidina Hasan, karena selalu mendapat kecupan dibibirnya dari baginda Rosul, sedangkan Husein hanya mendapat kecupan lembut dilehernya. Tak mampu menahan dirinya, Sang utusan sempat tak sadarkan diri saat memberikan penjelasan. Menurut sejarah, Sayyidina Hasan benar terbunuh sebab racun yang masuk melalui mulutnya. Kepala Sayyidina Husein pun akhirnya terpisah dari tubuhnya saat fitnah kian merajalela.
    Seperti itu, Robb. Apakah aku juga harus serta merta pasrah dan membiarkan semuanya terjadi hanya karena memang sudah seharusnya terjadi? Seperti Islam yang dikabarkan datang dalam keadaan asing dan suatu hari nanti akan kembali terlihat asing. Islam akan luntur seperti lunturnya warna pakaian, sedangkan kisah Pocong yang terganggu dengan tali yang mengikat dibagian ujung kepalanya masih tetap disajikan sama, tidak kurang tidak lebih.
    Seperti itukah, alur melunturnya agama yang telah disempurnakan ini? Samar, asing, dan akhirnya menghilang sama sekali. Selisih faham yang mulai terjadi sepeninggal Utusan terakhir pilihan-Mu. Dan semakin berkembang saat kecupan sayang yang selalu mendarat lembut dileher salah satu cucu kesayangan baginda Rosululloh telah menyampaikan makna tersembunyinya.
     Seperti itu, aku mencoba meraih hikmah dengan caraku sendiri. Bagaimana alur agama yang indah ini menjadi terlihat semakin asing. Terus saja, hadirkan agama dalam bentuk terkotak-kotak, disadari atau tidak kita yang mengaku ummat setia kanjeng Nabi yang membuat agama ini menjadi terasing. Mengasingkan diri, bukan karena masa yang ditentukan telah tiba, tapi karena antipati berlebih kepada yang seharusnya saling bersaudara, bertingkah seperti musuh dalam selimut hanya karena berdiri di bawah panji yang berbeda. 
     Terpekur dalam diam, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Telah dihadirkan ditengah medan juang yang telah aku minta dalam setiap do’a. Walau tanpa perlengkapan yang memadai, namun aku tetap memaksakan diri. Bukti kelemahanku sebagai seorang hamba. Ego, tanda hawa nafsu yang berhasil mengikat kuat tuan rumah yang ia tinggali. Berhasil mengelabui hati, ratu penguasa kerajaan jasadnya. Memukul telak logika, dan mematahkan setiap upaya akal sehat yang mencoba mencerna hanya dengan sepenggal kalimat yang menjebak,”Semua benar adanya.”

Komentar

Postingan Populer