Ini Aku - Rantai Andromeda.
“Camera, roll … and, Action!” Kalimat khas yang sering diucap sang
sutradara saat memimpin jalannya pengambilan gambar dari skenario ditangannya.
Seakan sengaja ditulis dengan huruf kapital dan dilengkapi dengan tanda seru, berharap setiap bintang pilihannya tampil membawakan peran dengan kesungguhan dan sepenuh
hati. Sehingga setiap rasa yang ditampilkan,
bahkan airmata, luka dan darah yang menetes tak nampak sedang ada dalam sebuah bersandiwara.
Peluk hangat, cium mesra, usapan lembut dikepala, baku hantam,
hingga kulit dan wajah biru lebam. Berseteru dalam kebencian dan besarnya rasa
curiga, hanyut dalam lagu kemesraan, terlena dengan cinta yang memabukkan, “Cut, Cut ...!” Maka semua pemeran akan kembali pada pribadi mereka sendiri.
Saat melihat senyum puas tersungging diujung bibir sutradara,
mereka pun duduk kembali di atas bangku lipat putih dengan perasaan lega.
Namun saat topi miring terlepas dari kepala sang sutradara, dan satu papan take
tiba-tiba saja melayang diudara, maka tiap-tiap yang ada didalam ruangan akan
saling bertukar pandang, berebut membuang muka, terduduk dengan wajah pucat
pasi dan membawa beban hati mereka sendiri-sendiri.
Ah, kapan sebenarnya pertama kali kata Action, disebutkan dalam kehidupanku? Apakah di saat satu-satunya suara yang bisa ku keluarkan dari lisanku hanyalah sebuah tangisan, tiap kali merasa haus, lapar, kotor atau sekedar ingin ditimang dalam buaian. Atau kata itu diucap saat akhirnya kesepakatan terjadi saat aku masih di alam ruh sana? Di saat bahkan kedua orangtuaku pun belum mendapat ilham, akan memberiku nama apa. Atau dihari dimana aku berlagak seperti Andre Taulani yang sedang patah hati dalam Kiamat sudah Dekat. Berdiri ditengah lapang seorang diri, berteriak menantang langit-menghina bumi. Meragukan Kebijaksaan-Nya, menggugat kebenaran dari setiap Janji-Nya. Mempertanyakan sebuah pemberian yang telah diberikan, apakah benar anugerah atau hanya menjadi perantara musibah. Mencurigai sifat Lembut dan Kasih Sayang yang Ia miliki, hanya karena merasa Yang Maha Bijaksana telah memukul telak dihati.
Hidup seperti sinetron atau sinetron yang meniru kehidupan? Dan pertanyaan bodoh itu telah membuatku enggan membawakan peran. Membuat diri sendiri lupa, walau saat malas berperan pun, sesungguhnya tetap sedang memainkan peran. Menjadi seorang artis, bintang, superstar, untuk kehidupanku sendiri.
Tetap ada jatah kisah yang mau tidak mau harus tetap aku perankan. Dan mungkin hanya dengan memaksa membenamkan diri dalam bumi adalah satu-satunya cara untuk menolak peran yang telah di dapat. Aku lupa, dengan Sutradara yang tengah duduk dan selalu mengawasi setiap gerak-gerikku. Lupa, bahwa Sutradara yang telah kuikat janji adalah yang paling memahami setiap peran yang telah Ia tentukan.
Sudah berapa banyak kisah yang telah kulihat dilayar kaca?
Sudah berapa kali aku menyempatkan diri berbaris rapi dengan selembar kertas
putih kecil ditangan, menunggu giliran untuk bisa masuk dan memandang langsung sebuah
layar lebar. Berebut tempat dan segera menggelar tikar, lengkap dengan baju
hangat dan sebuah payung besar, saat dana yang ada hanya cukup untuk membeli
sabun batangan, obat nyamuk dan pereda sakit kepala, sebagai ganti tiket untuk
bisa masuk ke dalam teater MISBAR.
Komentar
Posting Komentar