Ini Aku - Rantai Andromeda 3
Itu mengapa sebabnya sering aku bilang, alur yang mudah ditebak dan seperti
biasanya. Kisah yang terjadi di dalam hidup ini, seakan hanya berputar-putar
pada sekuel 'si miskin dan si kaya'. Si miskin tak layak dipandang dan tak
memiliki hak untuk mengeluarkan suara, sedangkan si kaya memiliki hak otomatis
untuk selalu dijunjung tinggi dan diagungkan lebih dari yang lainnya, tak
jarang pula seakan memiliki kebebasan untuk berbuat menurut kehendak
hatinya. Bisa dihitung dengan jari, mereka yang kaya raya memiliki hati
yang luas dan tetap bersahaja. Ringan berbagi tanpa harus terlebih dulu menyentuh
jari kakinya.
Aahh, di dunia ini apa yang bisa lebih tajam dari pedang? Memutar kembali ingatan
jauh ke belakang, mungkin benar apa yang pernah suamiku bilang. Tak
boleh mengeluh, anggaplah ini adalah masa aku menuai benih yang telah kutanam
dimasa lalu. Tak boleh terluka, karena aku sendiri yang telah mempromosikan hatiku sekuat baja.
Iya,
mungkin dimasa lalu, aku telah menyakiti banyak hati diluar kesadaranku.
Dan kini suka atau tidak, aku harus menuai benih yang mulai berbuah itu.
Memetiknya, sebelum terlalu masak dan menjadi busuk dipohon. Karena jika tidak kupetik sekarang, maka mau tidak
mau aku akan menuainya nanti. Di satu tempat yang tidak tertulis kata 'berakhir' didalamnya.
Hahaha, seperti Ichcha dalam keluarga Bundela, benar eperti viruskah aku ini? Hemh, syukurnya jatah iri yang aku punya telah ku gunakan hanya untuk mereka yang berhasil pergi ke tanah suci. Ku sisakan sedikit, untuk memperhatikan setiap insan yang tetap lurus
dalam keimanan mereka dan selalu bisa tersenyum dengan ringan tiap kali cobaan datang menghampiri.
Ku habiskan untuk mereka yang mampu memberi dalam diam, dari hati, bahkan tanpa
sepengetahuan tangan kiri yang selalu mengayun bergantian.
Sayangnya, alur
yang mudah ditebak ini ternyata juga mampu membuatku tersedak dan kehabisan udara.
Berputar seratus delapan puluh derajat dan sedikit memunggungi-Nya. Tak hanya
kehilangan kepercayaan diri, namun juga sempat memaki bumi. Mencela semesta,
yang katanya selalu setuju dengan apa yang kita mau. Seperti yang digambarkan oleh Rondha Byren sebagai Aladdin, om jin dan lampu ajaib. Usap tiga kali, dan saat asap putih
keluar mulailah sebutkan permohonan. Menuduh alam yang telah mengkhianati
permintaan rahasiaku, menantang langit karena telah tega mempermainkan hati ini. Maha Suci Engkau Alloh, Maha Besar
Engkau dengan segala Sifat Agung yang Engkau miliki. Sebesar apakah kesombongan
hamba-Mu yang satu ini, saat diri ini memohon ampunan dari-Mu, mohon buat itu
benar-benar datang dari hati.
Mencoba
mengakali nasib, mengutak-atik qodar. Mengantisipasi andai hanya sedikit yang tertulis dengan tinta biru. Kekhawatiran
yang mendera, jika terlalu banyak warna merah yang tertera bisa-bisa membawa
dan menarikku jatuh langsung ke dalam kobara api neraka. Aku ingat, tapi lebih sering
lupanya, bahwa Engkau sebening embun pagi. Sejernih kaca yang biasa
digunakan untuk bercermin saat merapikan diri. Engkau sesuai dengan
persangkaan hamba-Mu, dan apa yang telah ku sangkakan pada-Mu sepanjang
hidupku ini?
Sibuk menyebut dan meyakinkan diri, bahwa do’a dan qodar
selayaknya hidup berdampingan. Menolak dan berusaha mendamaikan, di saat
keduanya mulai berusaha saling melawan dan menjatuhkan. Menjadi hakim garis
ditengah pertempuran tanpa berhenti mengingatkan,
bahwa semua sama kedudukannya didalam penciptaan, sebagai makhluk ciptaan.
Iya, aku ... do’a yang kurajut dan qodar yang k miliki, bahkan sebelum aku
terlahir ke dunia ini. Masing-masing kami hanya menjalankan peran yang telah
diberikan.
Komentar
Posting Komentar