Ini Aku - Rantai Andromeda 2
Ragam kisah, dari film komedi sampai drama telenovela yang mengupas
tentang lika-liku kisah cinta. Mulai dari film bisu sampai sinetron ganteng-ganteng
srigala, misteri Alien sampai haru-biru Growing Pain, yang secara tidak
langsung ikut menemani dan berperan dalam masa tumbuh kembangku. Banyak macam
kisah, dan kini semua kisah itu terjadi di depan mata.
Airmata
kesedihan, pilunya hati karena kehilangan, penyesalan tiada tara saat sebentuk
hati yang telah dilukai adalah milik kedua orangtua yang telah menjadi
perantara hadir ke dunia. Antipati pada mainstreem yang ada, ternyata
telah membawa aku pada putaran mainstreem itu sendiri. Menjalani kisah hidup seperti
alur dalam sinetron, maju mundur dan berputar tak tentu arah. Tak hanya
kisah cinta atau drama komedi, namun juga skenario misteri ditambahkan pula sebagai
bumbu kisah dalam hidupku.
Memusuhi
nenek tua bling-bling dengan terlalu dibawa hati, kini pun ternyata aku dipaksa
untuk juga jatuh hati padanya. Hidup
di akhir zaman butuh dinar dan dirham untuk mempertahankan dan membela
agama, itu memang benar. Tapi ternyata tetap juga membutuhkan hati untuk menjaga keseimbangannya. Bersikukuh mengganti “L” dengan “R”, tak perduli walau pada akhirnya aku
dinilai memiliki mental seorang pengemis. Mengubah logam menjadi batang emas
berharga. Hanya butuh niat dan hati yang tulus untuk membela dan memperjuangkan
agama. Aah, mungkin ada benarnya ucapan ibunda Ben Kasyafani
beberapa tahun lalu, bahwa aku terlalu tersugesti dengan buku-buku bacaanku,
dengan tulisan-tulisan yang ku buat.
Jabang
bayi, buah cinta dari setetes air yang hina. Maha Suci Engkau, Robb. Yang makin menegaskan akan kedudukan Engkau
dihadapan semua makhluk ciptaan-Mu. Sebagai pengingat untuk kami, manusia yang
masih berani menyimpan sifat sombong dalam diri. Sebagai
cemeti untuk diriku sendiri, yang masih saja menuruti dan memberikan kepercayaan sepenuhnya pada hawa nafsu untuk mengatur
kehidupanku.
Maha
benar Engkau dengan segala Firman-Mu. Maha Benar Engkau, yang masih terus mengingatkan tentang tanda kekuasaan-Mu, walau sang Utusan dan para sohabat
yang menapaki jalan hidupnya telah lama Engkau panggil kembali ke sisi-Mu. Maha
Suci Engkau dengan segala ketetapan yang telah Engkau buat, katakanlah kini aku
tengah hidup di dalam masa penuh asap. Namun ternyata tak seseram seperti yang
ku bayangkan saat pertama kali mendengar hadits yang menjelaskan tentang
kerusakan akhir zaman. Walau kabut telah turun semakin pekat, nyatanya sifat
Welas Asih-Mu telah Engkau tempatkan disetiap sudut ruang, untuk mereka yang
jeli dan sengaja mencari penerangan. Kusebut Engkau Maha Segalanya, Robb.
Karena aku telah kehabisan kata-kata untuk menggambarkan kekagumanku ini.
Menimang
buah hati, akankah aku juga akan diberikan kesempatan itu Robb? Sedang aku
sadar diri, betapa aku terlalu sering mengingkari janji. Belajar mengukur
kemauan dengan kemampuan yang bisa kuberi. Hadir ditengah-tengah penghuni
istana pengembala domba tanpa harta dan benda yang bisa dibanggakan, ternyata
berhasil memukul jatuh pribadiku. Membuat kepercayaan diri yang ku miliki
perlahan mengeriput.
Syarat
dalam berjuang, sekeras apakah hatiku ini hingga aku menolak cara yang telah
dicontohkan para pendahuluku? Tak hanya kanjeng Nabi, para Sohabat, sang Penakluk
Konstantinopel, ‘Alim Ulama dan setiap hamba yang telah Engkau selipkan di dalam
hati mereka semangat juang dan menghidup-hidupkan agama.
Ada
Bunda Khodijah sebagai tiang penyangga pertama, yang Engkau siapkan sebagai
perantara Utusan-Mu memulai perjuangannya. Ada shohabat sekaligus kholifah
Utsman yang telah Engkau beri kelimpahan rizki dan keluasan hati sebagai pilar penguat
perjuangan berikutnya. Utsman bin Ertuhgrul, yang telah mengambil peran penting
sebagai peletak dasar bani Utsmaniyah, hingga akhirnya terlahir benar Sultan agung yang dijanjikan. K.H Ahmad Dahlan yang ku kagumi dan ternyata memiliki kesamaan
kisah hidup dengan K.H Nurhasan pendiri pondok pesantren tempat aku mengenal
ilmu agama.
DR. Zakir Naik, yang saat pertama kali aku mengetahui kisahnya lewat cerita
yang disampaikan teman suamiku. Bahwa gelar Doktor yang ia miliki tak
mengurangi kecintaannya untuk mempelajari Al-qur’an dan al-hadits sebagai
tuntunan dalam hidupnya. Tak juga mencegahnya untuk mempelajari seluruh kitab
yang ada dan beliau ketahui. Bukan untuk dijadikan perbandingan, atau pemicu keraguan, semua itu dilakukannya untuk
membangun dasar. Pencegah diri dari ancaman qila wa qola yang dibenci kanjeng
Nabi. Berhujah dengan menggunakan dasar hukum yang telah difahami.
Semua
itu seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjadi bukti, dan memaksaku keluar
dari negri utopi. Bahwa dinar dan dirham memang benar
dibutuhkan dalam setiap perjuangan, dan aku harus selalu menata hati saat memulai kembali. Karena nenek tua bling-bling tak mungkin
diciptakan dengan penuh perhiasaan, jika perhiasan itu tak memiliki nilai guna
disepanjang langkahnya.
Menjadi
seperti benar-benar sedang ada dalam rangka sebuah sinetron kini alur hidupku
mengalir, maju-mundur dan berputar-putar, pada satu titik pusaran yang sama. UANG, harta dunia. Derajat, pangkat, martabat ... bibit, bebet, bobot.
Maaf,
Robb ... namun semakin banyaknya usiaku bertambah, ternyata ikut menambah celah, ruang untuk aku memperhatikan, bahwa apa yang menjadi pesan Utusan-Mu ternyata sering berlaku
kebalikannya, sekarang. Kasih sayang, kelembutan hati, kesetaraan, semua terasa semakin pudar dan terkurung ketakutan atas sesuatu yang banyak berlaku saat ini, Hirarki.
Sengaja
menutup mata dan telinga, jika tema yang dijadikan bahasan adalah tentang kedudukan dan harta dunia. Terpaksa menjadi seperti zombie sekali lagi, karena
penilaian yang diberikan padaku mengacu pada banyaknya harta yang ku punya. Benalu, manusia tanpa karya, penghabis jatah beras dan
pembuat kotoran dimata. Tak sedap dipandang, berhijab namun dinilai memiliki
kelakuan seperti syaiton. Dan semua label itu kudapat, hanya karena aku ada
dalam barisan kaum papa.
Komentar
Posting Komentar