Buku Harian Baxy 2020 - Bee de Contez
1 Juli 2012
Setengah berlari menuju terminal bus, walau hanya melihat dengan
ekor mata saat mobil sedan merah yang datang dari arah kanan, beradu temu
lumayan keras dengan sepeda motor yang melaju tak jauh di belakangku. Aku
sungguh berharap, kejadian itu terjadi murni karena Jalan Mampang Prapatan yang
ramai, bukan karena isi pikiran ini yang seringnya bergerak liar enggan dikendalikan
pemilik badan.
Itu hari pertama aku berpetualang cukup jauh setelah sekian puluh
tahun tinggal di Jakarta, Baxy. Sengaja memilih berjalan kaki, dari gedung 3D
menuju terminal-selain karena alasan menghemat uang saku yang kubawa, tapi juga
karena ingin menikmati suasana baru yang ada di sekitarku. Sepanjang jalan
menertawakan kebodohanku, yang memilih menggelandang hampir setengah harian di daerah
yang sama sekali tak kukenal, begitu mengetahui waktu seminar diundur menjadi
siang hari.
… … …
"Jadi, Mbak. Tapi dijadiin satu sesi dan itu nanti jam 2
siang." Seorang laki-laki dengan seragam satpam memberikan penjelasan,
setelah beberapa menit memperhatikan aku yang terlihat seperti anak hilang.
"Ugh, tak tahukah kalian, aku tak tidur semaleman. Menguliti
lobak, membentuknya menjadi pohon kelapa dan bunga teratai, berjuang ngelawan
rasa takut pada kacang panjang untuk menyelesaikan kepangannya. Ada permainan
besar siaga hari itu, terpaksa nahan ngantuk karena takut kebablasan tidur dan kesiangan.
Muterin daerah Mampang dianter kakak ipar …." grundelan di hati memaksa keluar, tapi yang kubisa hanya memasang
muka datar.
"Atau, Mbak tunggu di atas aja …," ujar
pak satpam menambahi.
"Ada buku bacaan, tak?" aku balik bertanya.
"Buku bacaan nggak ada, Mbak," jawab salah satu pemuda dari
tiga pria yang berdiri di hadapanku saat itu.
"Jangan bilang di atas yang ada cuma perangkat elektronik?
Alamak, tak mengertilah aku dengan yang berbau-bau teknologi itu." Muka
stuning kaget yang kupasang waktu itu mungkin makin terlihat aneh, karena pak
satpam dan dua pemuda yang baru saja turun dari lantai atas itu tertawa
bersamaan.
“Tenang, keluar dari sini dijamin paham teknologi. Kalo di dunia
software, yang penting imajinasi kita maen, logika juga jalan,” jawab
pemuda yang satunya.
Aku tahu senyuman yang dipasang berbarengan saat berbicara bukan
bermaksud mengejekku, Baxy. Terlihat jelas dari bahasa tubuh yang mereka
pasang, memang sengaja menyambut setiap peserta seminar yang dating. Ucapannya membuatku
tersenyum dari hati, tapi tetap menolak untuk masuk karena takut jika bertemu
langsung dengan Huang A ma istana tanpa kabel yang telah kulukai kepercayaannya.
Memenuhi undangan Huang A ma lewat media sosial, Baxy. Walau aku
tahu, bukan hanya aku yang diundang, tapi tetap saja hatiku senang bukan
kepalang. Aku pikir, seminar aplikasi ini akan menjadi kesempatan kedua untukkku
memasuki kembali gudang mimpi. Iya, betul … itu adalah 1 tahun pertama aku
mengundurkan diri, tak lama setelah resmi menandatangi surat kontrak karyawan
percobaan. Terbukti sudah tingkat kebodohan yang kumiliki. Hahaa ….
Andai tekanan darah Ibuku tidak tiba-tiba melonjak tinggi, mungkin
aku akan tetap bertahan dengan petualanganku kembali di atas kompor dan menutup
pintu hati selamanya untuk seragam licin dan sepatu vantopel. Namun, aku
memahami harapan yang dimiliki setiap orangtua dan aku mengaku bersalah dalam
hal ini, Baxy.
Tiba di dalam ruangan seminar, mencuri pandang pada Huang A ma dari
kejauhan. Tubuhnya terlihat sedikit lebih tambun, dengan kumis dan jenggot
menghias di wajahnya. Melihatnya aku menjadi semakin merasa bersalah, Baxy … aku
telah mengkhianati niat baiknya.
Saat satu persatu narasumber mulai maju mengisi acara. Jujur, aku
malu. Entah berapa banyak lapis tempurung yang kutumpuk untuk menutupi cara
pandangku tentang laju kehidupan ini. Banyak orang baik di luar sana, Baxy … orang-orang
yang masih perduli pada sesama. Walau tahu dunia ini hanya sementara, sekedar
panggung sandiwara, tapi mereka justru mengeluarkan seluruh sisi terbaik yang
mereka punya, tanpa memusingkan diri dengan kata Hum dan Kum. Argh
…!
“Buat sesuatu yang orang banyak butuh. Software gratis, konten,
akses internet kenceng plus gratis, hahaa …. Lewat milik kita, kita jadi tau
apa yang orang lain butuh. Jangan sampe miskin dibikin alasan hidup nggak
berkembang, miskin tapi pintar. Bikin pintar orang itu nggak harus nunggu jadi Dosen,
lepas ilmu secara gratis-lepas gratis pasti dikejar. Lepas semua, jangan
setengah-setengah. Biar cepet banyak dapet ide lagi, jadi kalo mau gila juga
jangan nanggung ….” Beberapa pesan yang disampaikan bapak Onno yang sengaja kusalin ke
dalam buku catatan, Baxy.
Bapak Onno W. Purbo, Sapto Anggoro, Ai Rangkuti, Acong de Conte. Beberapa
dari sekian banyaknya Malaikat tanpa sayap yang ada di bumi. Iya, seperti yang
digambarkan dalam film Constantine, Baxy. Isi kepalaku selama ini, semua harapan,
ternyata benar didengar-Nya, hanya aku sendiri yang kurang teguh dengan
pendirian.
… … …
“Baru pertama kali pergi jauh sendirian, ya? Kita pindah bangku aja
yuk, cari yang deket pintu keluar. Lain kali, usaha’in kalo naik kendaraan umum,
apalagi perginya sendirian, cari tempat duduknya yang deket pintu, ya.” Seperti
adik kecil yang penurut, aku menuruti saran seorang pria yang tiba-tiba saja
ada di sampingku. Tubuhnya yang kekar berisi, membuat kaos putih yang
dikenakannya semakin terlihat menyatu dengan badan, ada ransel hitam menyangkut
di pundaknya, memperlakukan aku seolah telah lama saling kenal, “emang tadi
dari mana? Nggak ada yang nganter?” ujarnya lagi, setelah kami menempati tempat
duduk baru.
“Itu, abis ikut seminar aplikasi, Kak. Tadi berangkatnya sih
diantar kakak ipar, tapi dia langsung pulang.” Berusaha menjawab setenang mungkin,
dengan jemari tetap berusaha berkomunikasi dengan 6235 nun jauh di sana.
“Wah … lumayan tuh. Biaya masuknya berapa? Biasanya kan ikut seminar
gitu lumayan mahal.”
“Enggak bayar. Gratis, Kak. Dulu aku sempet kerja di kantor salah
satu narasumbernya, ini aku juga dapet undangan dari mantan bos aku.”
“Kamu ketakutan, ya? Apa takut sama Saya? Tenang, Saya nggak
nggigit kok, hahaa ….”
“Eh, enggak gitu. Emang keliatan ya, kalo aku lagi ketakutan?”
“Iya, kenapa gituh?”
“Itu, tadi gara-gara ada yang tabrakan, Kak. Sebelumnya kan aku
sempet iseng mikir, jalanan rame gini, kalo ada yang tabrakan gimana, ya? Lhah
kok, nggak sampe 5 menit bener kejadian.”
“Yee … ge’er, kamu. Emangnya kamu siapa? Allah? Anggep aja itu kebetulan,
jadi kitanya juga nggak mikir yang aneh-aneh kelamaan. Coba kamu agak mepet lagi
ke pojok duduknya, biar aman.” Sudah terlupa dengan si kodok di tangan, karena isi kepala sibuk
bertanya-tanya, ‘siapa orang ini?’
Tak lama kemudian, segerombolan anak muda memaksa masuk ke dalam
bis yang sudah penuh dengan penumpang. Terus berjejal, sampai-sampai bus
seperti kelebihan muatan. Teman dudukku sigap melindungi, tangan kanannya
bergegas melintang di belakang leherku, telapak tangannya ia letakkan pada kaca
bus, bertujuan melindungi kepalaku agar tak terbentur saat para pemuda itu
terus memaksa masuk walau kernet bus sudah menolak mereka. Sedangkan lengan
kirinya, ia gunakan untuk melindungiku, dengan sengaja meletakkannya melintang
memegang kursi depan. Tak kuizinkan lagi untuk sekedar menyelipkan prasangka
buruk padanya, Baxy … karena aku yakin ia hanya berusaha melindungiku seperti
seorang kakak melindungi adiknya.
“Tenang aja, bentar lagi juga turun. Biasa … anak muda, semangatnya
kan berapi-api.” Aku tersenyum mendengarnya, dengan tetap menggunakan ujung hijabku
sebagai pelindung hidung. Kepul asap nikotin dan aneka macam aroma parfum
segera menyergap masuk dan membuat isi perutku mulai menari-nari.
“Kalo ngerasa pusing dalam perjalanan, coba bayangin yang lucu-lucu
aja. Atau sesuatu yang bikin kamu nyaman, atau coba tidur deh … kamu turun di
mana? Nanti saya bangunin kalo udah sampe. Nah, tuh … tempat ngumpul mereka
udah keliatan. Kaya’nya hari ini Persija ada pertandingan, jadi Jakmania pada
turun ke jalanan. Kamu suka bola nggak?” Pria baik hati itu terus saja
mengajakku bicara, seperti sengaja mengalihkan perhatianku dari terserang mabuk
perjalanan.
Aku menggeleng, “Masih nggak ngerti sama alur permainannya, Kak.
Bingung aja ngeliat satu bola direbutin orang banyak. Dijemput, digiring, tapi
begitu masuk ke gawang ditinggal pergi gitu aja ….”
“Hahaa … bisa aja kamu. Eh, turun di mana?”
“Tadi sih waktu aku tanya sama orang yang di terminal, kalo mau ke Ciputat
turun dulu di Lebak bulus, Kak. Baru bisa nyambung angkot yang ke Ciputat.”
“Oh, rumah kamu di Ciputat juga. Ya udah, berarti kita satu arah. Nanti
kita sama-sama aja nyari angkotnya. Ini udah malem lhoh … nggak aman ah, anak
perempuan pergi sendirian sampe malam.” Err … berapa usiaku di tahun itu, Baxy
…? Hampir kepala tiga dan aku masih terlihat seperti anak ayam yang terpisah dari
induknya. Buzz ….
“Udah … pake uang saya aja. Kita cari minum dulu, ya … liat tuh
muka kamu pucet gitu. Di seminar tadi dapet makan siang nggak?” Aku
memasukkan kembali uangku ke dalam saku baju setelah bus yang kami tumpangi
tiba di terminal.
“Itu yang lucu, Kak. Aku hampir setengah harian nggelandang di
pinggir jalan sambil nahan laper, padahal di dalem mah ternyata disiapin
makanan enak-enak buat peserta seminarnya. Jadwalnya kan sebenernya pagi, tapi
ternyata berubah jadi siang. Nah, aku disuruh masuk tapi nggak mau, soalnya yang
nyambut kan laki-laki semua, pikiran aku langsung kemana-mana gituh. Akhirnya
muterin jalanan disekitar 3D aja, sampe masuk ke gang-gang sempit. Nah, di situ
deh aku ketemu sama tukang ketoprak, harganya lumayan ajaib buat porsi yang
kalah banyak sama porsi si mamang langganan aku.”
“Yaah … namanya juga di kota besar. Biaya hidup kan juga pasti udah
beda, kamu Ciputatnya di mana? Nih, minum dulu … tenang, aernya masih disegel
kok. Jadi nggak mungkin saya ngasih kamu yang aneh-aneh. Inget ya, nanti kalo
dapet angkot, langsung cari tempat duduk yang deket pintu. Tuh … angkotnya
dateng.” Jujur, andai aja apa yang aku alami di hari itu adalah bagian dari
sebuah film, mungkin akan ada adegan jatuh hati pada pandangan pertama, Baxy.
Atau kisah lanjutan dengan saling bertukar nomer telpon.
Tak banyak percakapan sepanjang Lebak bulus-Ciputat, karena pria
baik hati itu memilih duduk di samping pak sopir, sedang aku menurut saja saat
diminta untuk duduk di bangku persis di belakang sopir. Air di botol mineral
masih tetap dengan segelnya, kupegangi, bukan karena aku tak haus atau benar
takut ada sesuatu yang telah dimasukkan ke dalamnya, tapi karena tenggelam
dalam rasa bingung dan penasaran, Baxy. Siapa sebenarnya orang ini? Kenapa bisa
aku merasa ia sengaja dikirim untuk menemaniku di hari itu?
“Udah sampe nih, ayo turun. Dari sini kamu udah bisa kan ya, pulang
sendiri? Ada yang jemput, nggak? Lagian, kalo saya disuruh nganter sampe rumah
juga nggak bisa. Itu, rumah saya nggak jauh dari sini.” Pria
baik hati itu menunjuk ke arah masjid Agung di seberang jalan, dekat lokasi
yang biasa digunakan untuk ngetem angkot hijau.
“Iya, Kak. Nggak pa-pa, aku masih nyambung angkot ke Jombang sih.
Tapi kalo dari sini aja mah, aku udah hafal jalan. Uangnya, Kak? Masa dari tadi
aku dibayarin terus?”
“Udah, kamu simpen aja atau kamu pake buat bayar angkot, udah
nyebrang sana. Saya tunggu di sini sampe kamu nyebrang.” Heh?
Bayangkan, Baxy … siapa yang tak tersanjung mendapat perlakuan seperti itu, di saat
banyak orang tengah memusuhi kita?
Aku mengangguk dan kembali memasukkan uang yang kuberikan ke dalam
saku baju, “Sekali lagi, terima kasih ya Kak. Aku udah ngerepotin ….”
“Udah nyebrang, udah makin malem nih … istri saya juga pasti udah
nunggu-nunggu saya, hehe ….” Ah, beruntung sekali wanita yang menjadi istrinya, Baxy.
Berhasil menyebrangi jalan di bawah jembatan flyover yang baru
setengah jadi, sengaja menengok ke belakang, mencari tahu apa kakak baik hati
itu benar menungguku menyeberang jalan sebelum ia pulang. Dan di sana, aku melihatnya
melambaikan tangan. Senyuman itu … aku menjumpai senyuman itu lagi, Baxy.
Komentar
Posting Komentar