Buku Harian Baxy 2020 - Nama-Nya, 'Allah'

 

1.      Kandangan – Serang 2015

“Kenapa capek, Nuni? Bukannya Islam itu seharusnya indah? Agama emang seharusnya seperti itu, memuaskan akal dan menenangkan hati.” Suara Mbak Wanti dari seberang sana bertanya padaku.

 “Hemh, Islam emang indah Mbak. Bukan memuaskan, tapi buat aku pribadi, seharusnya agama itu untuk menenangkan akal dan menentramkan hati. Bukan Islam juga sebenernya yang bikin aku ngerasa cape netepin agama, tapi ragam baju yang bikin hati aku ngilu. Kenapa harus beda padahal tujuan kita sama? Kenapa harus saling menghukumi kalo dasar hukum yang kita pake juga sama? Taroktu fikum amroini, Mbak. Nabi Muhammad cuma ninggalin dua perkara, itupun disegel sama kalimat berikutnya, ‘nggak akan tersesat selama berpegang teguh dengan keduanya.’ Tapi apa coba? Aku perhatiin setiap pemimpin dari tiap golongan cuma nyampein sebagian ilmu yang mereka punya untuk khalayak umum, tapi nyimpen sebagian khusus untuk golongan mereka sendiri. Aku sering mbayangin, kalo akhirnya setiap gerakan Islam yang ada di negeri ini akhirnya bersatu, pasti bakal indah banget kehidupan ini. Nggak perduli walaupun katanya kita lagi hidup di zaman akhir, karena selama kita hidup bakal dikelilingin orang-orang yang selalu ingat dan ringan beribadah. Pastinya waktu kiamat akhirnya terjadi, itu bukan karena makin banyaknya tanda-tanda yang muncul, tapi karena Alloh sendiri yang udah menghendaki itu terjadi. Iyakan? Buktinya … dari HTI aku jadi tahu tentang sejarah Islam, runtuhnya kekholifahan, istilah bahaya pengkelasan. Jadi tahu kalo dakwah itu adalah tugas setiap Muslim yang sudah tahu ilmunya. Terus, keyakinan Mbak tentang indahnya Hidayah, mbantu aku buat ngelepas kacamata kuda yang nggak sadar udah aku pake buat makna’in arti Hidayah itu sendiri. Dari Muhammadiyah aku juga jadi tahu fungsi dari ilmu falaq sebenernya, arti dari perjuangan menegakkan syari’at Islam. Lewat NU, aku jadi ngerti tentang arti keterbukaan, bahwa Islam adalah untuk siapapun yang ingin mendatanginya. Terus, dari baju yang aku pake ini, juga bikin aku tahu kalo semua itu bener. Tentang Ikhtilaf, tentang memurnikan agama tanpa harus terjebak dalam status Ashobiyah, persis sama kaya' yang pernah Mbak bilang, kalo ilmu itu bisa kita dapet di mana aja. Buktinya, aku dapet ilmu yang aku cari lewat perantara Mbak. Aku nggak akan pernah tahu kesedihan para wanita Tunisia kalo Mbak nggak cerita, nggak bakal tau kalo pondasi Masjidil Aqso lagi digali,  terus airmata Rohingya. Dari para Nahdiyin di tempat aku tinggal sekarang, aku jadi tau kalo mereka juga kadang nggak tau mereka adalah jama’ah NU, karena yang mereka tahu ada masjid yang bisa mereka datangin untuk ibadah setiap harinya. Mereka semangat karena yakin itu adalah jalan yang mereka tempuh buat ndapetin surganya Alloh. Lah aku? Lewat baju ini aku kenal agama, makanya aku bilang, aku tetep bertahan walaupun Mbak selalu nyaranin buat keluar, karena netepin agama bukan semacam ikut bisnis MLM. Ikutan pake produknya begitu ngerasa cocok, tapi pas dirasa nggak cocok, paling cuma ikut ngejualin supaya tetep dapet untung. Mungkin emang akunya aja yang kurang bisa bersyukur. Ada peraturan yang mungkin emang kurang bisa aku jaga dengan baik, kadang malah sengaja aku lompatin dengan alasan Alloh tahu niat aku. Cuma pengen ngerasain Rohmatan lil alamin, Mbak … itu aja sih sebenernya alasan aku. Nyatu'in yang udah kepecah-pecah jadi satu lagi, Tapi aku juga sadar kalo kurang bekal, ilmu yang aku punya sedikit banget. Kaya keabisan udara aku teh jadinya. Jadi makin sadar kalo mimpi aku ini emang muluk-muluk banget. Nggak tahu juga apa akhirnya bisa jadi nyata.”

Selalu tak pernah cukup waktu 1-2 jam, untuk kami saling bertukar kabar walau hanya lewat suara. Akan selalu ada pembahasan tentang agama mengisi percakapan kami dan memang cuma dengan kakakku yang ini, aku bisa dengan leluasa menceritakan keluh kesahku berkaitan dengan masalah agama. Jujur, wawasanku tentang Islam memang semakin berkembang tiap kali berbincang dengannya, Baxy.

Seperti katak yang lama terjebak dalam tempurung, aku mulai belajar memberanikan diri untuk melihat bebas sekelilingku. Mencari tahu secara langsung informasi yang aku butuhkan dan mulai membentengi diri dari menerima mentah-mentah ilmu yang hanya sekedar katanya-katanya. Seakan mengulang kisah seorang pemuda bernama Ibrahim yang mencari Tuhan-nya. Mengajukan tanya pada bintang, pada rembulan, pada matahari, sampai akhirnya mengucap pernyataan bahwa ada Pencipta dibalik semua ciptaan dimuka bumi ini, dan menyerahkan segenap iman yang ia miliki.

“Nuni yang dinilai oleh Alloh itu upaya kita, bukan hasil. Kalo hasil kita serahkan Alloh aja, karena Alloh lebih tahu tentang hamba-Nya,” jawabnya singkat, setelah dengan sabar mendengarkan aku berceloteh panjang lebar.

Singkat tapi padat, sedikit terhibur mendengar kalimat penutup perbincangan kami saat itu, Baxy. Iya, karena hanya Sang Pencipta-lah yang benar-benar tahu tentang makhluk ciptaan-Nya. Semua tanya itu telah dihadirkan jawabannya, Baxy. Jauh, sebelum aku ikut menghuni bumi ini.

Komentar

Postingan Populer