Buku Harian Baxy 2020 - Nama-Nya, 'Allah'
11 Maret 2020.
Mencoba menyelesaikan apa yang telah aku mulai, Baxy. Kukira,
setelah segel garansi maka semua benar akan baik-baik saja. Aku kehilangan
banyak, satu sayapku patah begitu Bapak menghembuskan napas terakhirnya.
Separuh jiwa seakan ikut mati, begitu adik perempuanku menutup mata untuk
selamanya. Tak ada lagi semangat untuk memukul mundur setiap orang yang selalu bilang
‘mustahil’ pada mimpi dan cita-cita yang kupunya.
Kembali jadi zombie selama beberapa hari ini. Bukan pasrah, tapi
murni menyerah kalah. Iya, walau aku tahu ada ancaman pedih bagi mereka yang
lebih memilih berputus asa daripada terus berusaha, tapi aku sudah terlanjur
malu jika dipaksa untuk terus meminta. Terlebih lagi setelah hampir 2 bulan ini
mulai mengumpulkan dan membaca kembali catatan-catatan kecil yang pernah kubuat
dulu.
Malu, Baxy. Membaca bagian saat aku tengah merajuk, berusaha
meyakinkan Tuhan-ku tentang kesungguhan hati yang kupunya. Seakan lupa, bahwa
tak ada yang bisa mengenali diri seseorang sebaik Pencipta-nya dan aku terus
saja mengulangi kesalahan yang sama. Hampir 10 tahun berlalu ternyata, dari
rentang waktu 2 tahun yang telah kukhianati.
Sungguh, aku tengah terbelit sesuatu yang sangat menyakitkan saat
ini. Spiritual awakening, sampai detik ini aku tetap tak berhasil memahami
artinya, yang masih kupegang sampai hari ini hanyalah Asma’ul Husna dari
Pemilik jagad raya. Tak perduli seberapa kuat aku ditarik, seberapa lembut aku
dibisiki untuk khianat. Dibimbing untuk belajar memaki, bahkan sampai akhirnya menjauhkan
diri dari Satu-satunya Nama yang selalu bisa mendamaikan hidupku di tengah
carut-marutnya wajah dunia saat ini.
Ya Quddus-Ya Salam, Ya Hayyu-Ya Qoyyum, Ya Fattah-Ya Aliim. Perhatikan,
Baxy … setiap nama saling berhubungan. Iya, aku sadar diri, minimnya
pengetahuan tentang ilmu agama melemahkan hujah yang kupunya, aku pun telah
terbiasa dengan sebutan muspro atau apalah itu istilah yang biasa diberikan
padaku setiap kali berusaha ikut menyampaikan agama yang seharusnya indah ini.
Tak lagi menggebu, hasrat
tentang mimpi babad tanah jawa. Impian tentang menyatukan mereka yang masih
terus bertahan dan ramai berseteru sebab kabar 73 pecahan. Berhayal bisa
membuat para pemilik sorban dan jubbah berhenti berorasi-yang membuat majlis
ta’lim terlihat seperti ajang berghibah. Inginnya bisa mengembalikan nuansa
seperti yang pernah aku lihat dari balik jendela masjid saat aku kecil dulu.
Tutur kata santun dan penuh kelembutan, usapan halus di punggung saat dirasa
telah gagal menirukan dengan benar huruf hijaiyah yang sedang diajarkan.
Tanpa tekanan, Baxy. Menetapi agama, menjadikannya bagian dalam
kehidupan sehari-hari tanpa paksaan. Tanpa ancaman ataupun intimidasi, walau
pengetahuan yang dimiliki hanya sebatas adanya Surga dan Neraka, tetap tak
mengurangi sedikitpun keyakinan seorang hamba akan keberadaan Sang Pencipta.
Bukankah seperti itu seharusnya peran agama dalam kehidupan? Menyejukkan akal
dan menentramkan hati, bukan justru mengasah angkara dan menabur benci. Pengertian
Hidayah itu semestinya menjadi seperti sinar lentera di tengah gelapnya hutan
belantara, bukan seperti lidah api di antara tumpukan jerami. Karena betapa pun
banyaknya ilmu yang telah dimiliki, tetap tak akan mampu membandingi setetes
saja tinta kalam miliki Ilahi.
Apa kau tahu, Baxy … apa kira-kira yang membuat seseorang berani dan
penuh percaya diri meninggikan sendiri kadarnya hati? Merasa menjadi manusia
setengah dewa, setiap ucapannya seakan mampu menandingi sabda Kanjeng Nabi,
sekaligus menjadi penentu surga dan neraka manusia lainnya. Bisakah seperti itu?
Sedangkan Kanjeng Nabi sendiri butuh dibelah dadanya untuk kemudian dibersihkan
hatinya dengan air zam-zam agar terjaga kesuciannya. Sengaja menyimpan senjata
pamungkas yang beliau miliki, agar lebih berguna sebagai syafa’at untuk para
pengikutnya di hari akhir nanti.
Agama seharusnya ada untuk dijalankan, benar kan? Bukan justru
sibuk dan berlama-lama terjebak dalam perdebatan. Hanya karena apa, Baxy?
Lagi-lagi karena perbedaan madzhab, berbeda organisasi. Memilih saling baku
hantam, saling menjatuhkan hanya karena perbedaan sudut pandang tentang bentuk asli
bumi. Atau terjebak argumen tentang bahasan niqob, irho’ atau panjang resmi ujung
kerudung syar’i.
Ufth, mau sampai kapan bercandanya? Sedangkan semakin banyak musuh
tak kasat mata yang ada kini tak lagi terlihat menakutkan. Andai kau tahu, hantu
sundel pun kini tak lagi terlihat bolong punggungnya, Baxy. Jika sudah begitu,
bagaimana caranya kita membedakan mana yang benar-benar amal baik dan mana yang
ternyata hanya tipuan yang menyesatkan?
Boleh bilang aku cape’, Baxy? Salahkah aku jika mengajukan
permintaan? Cukup sampaikan pada kami tentang Manhaj saja, jalan yang diambil,
jejak langkah yang ditapaki oleh para pembawa Madzhab. Cukup jelaskan tentang
Surga adalah untuk mereka yang mau beribadah dan berbuat baik, sedang Neraka
disiapkan untuk mereka yang menolak perintah dan senang berbuat dosa. Tanpa
perlu lagi menambah kebingungan dengan begitu banyaknya perbedaan di negeri
ini, karena mereka yang benar-benar mencari bekal akhirat, kuyakin akan
berusaha berpegang teguh dengan setiap pengetahuan yang telah mereka dapat.
Komentar
Posting Komentar