Buku Harian Baxy 2020 - Bee de Contez

   21 Oktober 2010

Percakapanku dengan 6235 kali ini tidak dalam sesi pemanqulan hadist seperti yang biasa kami lakukan, tapi tetap ada proses saling transfer pengetahuan walau hanya lewat udara. Membahas tentang Mbah Marijan dan gunung Merapi yang berganti status menjadi siaga. Aku tak paham tentang mitos apalagi juru kunci yang dibahas 6235, tapi aku pernah mendengar kisah saat Nabi membuat gunung yang tak berhenti bergoncang akhirnya menjadi tenang setelah beliau membacakan 4 ayat terakhir dari surat Al-mukminun dan penjelesan tentang 4 ayat itu akhirnya yang mendominasi percakapan kami malam itu.

“Eh, Mas … Sampean percaya nggak, kalo aku bilang, selesai kita telpon-telponan ini bakal ada dua orang dateng ke rumah ngetok pintu nyari aku?” Tiba-tiba aku berseloroh, setelah selesai menerjemahkan dan menjelaskan keutamaan yang dimiliki 4 ayat tersebut.

“Mosok aku eruh? Emang kamu bikin janji sama siapa? Tim perkawinan? Awas ya, kalo sampe macem-macem di sana …!” jawab 6235 dengan nada seperti sengaja dibuat terkesan sedikit mengancam

“Idiih … katanya nggak cinta.” Aku sengaja menggoda.

“Halah, emboh est …. Lagian, kamu tau darimana kalo bakal ada orang yang dateng? Katanya udah nggak berurusan sama sisi miring lagi?”

“Emang udah enggak. Ini mah itungannya cuma sisa mata rantainya aja, tuh … bener kan ada yang ngetok pintu. Udahan dulu, ya? Nanti aku cerita’in apa aja yang dibahas. Jangan aja nyinggung-nyinggung kata Resolusi, yang ada aku malah ketawa ….”

“Hiyo!” jawab 6235, lalu seperti biasa, memutus percakapan dengan sepihak.

Mata rantai, Baxy … setiap mimpi yang kudapat tentang baju ini, agama ini. Disajikan acak dan berupa potongan mentah. Siapa kiranya yang dapat membantuku, menyatukan dan membuatnya menjadi hidangan layak saji?

“Udah deh, nggak usah bikin yang aneh-aneh. Ini agama udah barang jadi, kita tinggal nerima dan ngejalanin aja. Mas sampe kaget loh, waktu denger nama kamu disebut di podium, nama lengkap loh. Tadinya orang daerah sendiri yang mau dateng langsung nemuin kamu, tapi Mas bilang, kita berdua aja dulu yang nemuin kamu,” ujar seorang pria dewasa, yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua dariku.

“Enggak, gini deh … apa sih sebenernya alesan kamu sampe harus ke Ponde? Terus, bener kamu bisa ketemu? Yang kamu bahas apa? Masih gara-gara patah hati? Tenang deh … nanti saya cariin gantinya buat kamu.” Ini sudah orang yang berbeda, yang berbicara, Baxy. Dan keduanya kukenal dengan cukup baik, mengisi masa muda-mudi bersama-sama, tapi dengan surat kelulusan menikah yang berbeda. Hahaa ….

Aku masih terdiam, mendengar dan memperhatikan setiap pesan dan nasehat yang mereka sampaikan. Hanya sesekali melempar senyum dan berusaha memberi jawaban sekiranya aku memiliki peluang untuk menjawab. Yeaah, agak sedikit sakit hati saat lagi-lagi menyinggung tentang dilemma patah hati. Weks.

“Kita berdua sampe kaget loh, waktu pengurus daerah nyampe’in kemungkinan kamu lagi bikin makar ….” Oke, satu kata yang kutunggu, tapi jujur tak kuharapkan untuk benar mendengarnya terucap dari dua pria baik hati yang ada di hadapanku saat itu.

Apa yang telah berhasil kusembunyikan, tiba-tiba saja menyeruak paksa dan membebaskan dirinya sendiri. “Huft, tau nggak … barusan aku telponan sama siapa? Mau tau juga nggak, apa yang aku bilang sebelum nutup telponnya? ‘Bentar lagi bakal ada dua orang ke rumah nyariin aku, jangan aja sampe nyebut kata resolusi karena aku bakalan illfeel ndengernya.’ Lagian, logikanya … aku ini siapa? Cuma ru’yah biasa, dhuafa’, sekolah juga nggak tamat. Terus tiba-tiba pusat punya pikiran aku lagi berbuat makar? Kan udah aku bilang, aku cuma nyari segel garansi, saksinya juga ada. Terus bagian mana yang bisa tiba-tiba aku dituduh lagi meresolusi? Yang ada, langkah aku selanjutnya justru niat buat nguatin apa yang udah kita punya sekarang. Taat Allah, Taat Rosul, Taat Imam. Gitu, kan?” Dan tak ada lagi percakapan setelah itu, Baxy.

Hampir genap 10 tahun kah, Baxy? Mengingat saat aku mengulang kisah ini telah masuk pertengahan 2020. Meresolusi dalam hal apa, aku masih tak mengerti. Karena yang aku lakukan selama ini hanyalah mengamini do’a-do’a baik yang telah ada. Menjadi pengawal Al-qur’an dan penjaga Sunnah, walau minim ilmu, tapi setidaknya aku telah memiliki dasar yang sama. ‘Asyhadu an la ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan abduhu warosuluh,’ bahkan saat istilah Saudara tua dan Jerk lebih sering disampaikan di atas mimbar aku masih tetap diam seribu bahasa.

Kau tahu, Baxy … ternyata suamiku pun sering menyebut aku terlalu kekanak-kanakan dalam menyikapi sesuatu. Sepertinya memang benar dan itu semakin terbukti. Aku selalu saja tertawa tiap kali menjumpai seseorang berdebat hanya karena dipicu perkara baju yang mereka punya. Sebutan Islam jama’ah, ahlu Sunnah wal jama’ah, barisan para mantan, penerus jejak para salaf, pengawal tegaknya khilafah. Entah berapa banyak sebutan lagi yang akan bermunculan. Mau ditambah berapa banyak lagi? Mau sampai kapan?

Komentar

Postingan Populer