Buku Harian Baxy 2020 - Nama-Nya, 'Allah'

 

Bukanlah pertanyaan tentang siapa Tuhan-ku yang kusimpan selama ini, melainkan mengapa bisa sekian banyak baju yang dibuat seperti menjadi lupa fungsi. Dipilihkan bahan dan dibuatkan pola sebelum akhirnya dijahit. Dirajut, terkadang ada pula yang berhias sulam benang sutra dan renda. Untuk apa? Bukankah untuk mempercantik dan memperindah sang pemilik baju? Ah, sudahlah, Baxy. Biarlah tanya kusimpan sendiri dan akan kuajukan langsung bila tiba saat kunanti.

Apa itu Nahdiyin? Apa itu Salafi? Wahabi? Tak cukupkah ‘Rohmatan lil alamin,’  saja yang mejadi pelengkap nama belakang agama kita? Seperti cangkang mutiara, apa yang terlihat keras dan kasar, tapi menyimpang sesuatu yang indah di dalamnya. Ikhtilaf, haruskah kabut benar-benar datang, sedang dua tongkat penyangga masih tergenggam erat di tangan, Baxy?

Andai … andai … andai, aku bisa berhenti berandai-andai. Tentang indahnya dunia saat gusti dan hamba menetapi kadarnya. Tak perlulah mengayunkan pecut atau memainkan cambuk, jika sekedar ingin menunjukkan siapa yang berkuasa. Tak perlu pula berjalan duduk dengan kepala sedemikian merunduk, bertelanjang kaki dan duduk tanpa alas, sementara sang gusti yang duduk nyaman di atas singgasana emas. Duduk sama rata, berdiri sama tinggi, menurutku itu tak’kan mengurangi kualitas diri, Baxy. Rasa hormat, kewibawaan, semua itu akan selalu seiring sejalan dengan akhlak dan budi pekerti. Pemimpin dihormati dan yang dipimpin, dilindungi.

"Masih ada Alloh, Mas. Saat kabut semakin tebal, berhajatlah langsung pada-Nya. Berdo'a dengan sepenuh hati, jalan pasti akan dibukakan. Tak pernah tahu mana kendaraan yang harus kita pilih, jalan yang harus kita tempuh dan siapa pengemudi yang bisa kita percaya? Tapi dari kompas milik kapten Sparrow ngajarin kita tentang fungsinya hati, peran sebuah keyakinan.

Ah, hanya itu jawaban yang bisa kuberikan pada suamiku di awal pernikahan kami, Baxy. Saat rasa penasaran yang ia simpan sejak mengetahui kisah tentang baitul mal di bangku SMP, berbuah kekecewaan. Kerinduannya akan sosok ulama yang mengetuk pintu rumah dan mengenalkannya pada agama murni karena mengharap pahala dan terjaga dari unsur politik atau kepentingan pribadi, ternyata belum dapat terobati sepenuhnya.

Lalu apa yang harus aku lakukan, Baxy? Jika aku sendiri pun mulai goyah dengan keyakinan yang kupunya? Di mana jalan harus memulai aku masih belum tahu. Sedangkan di ujung perjalanan masih ada satu tempat yang sama, yang aku pilih sebagai tempat melepas letih. Ah, kembali mengalunkan senandung biru dengan biola tanpa dawai, tanpa gesekan, tapi nada yang terdengar begitu pilu menusuk kalbu.

 Siapa aku, Baxy? Wayang tanpa jiwa yang menolak diberi peran, tetapi terus memaksakan diri menggantikan peran sang Dalang. Berhayal dapat menghibur semua mata yang memandang, tapi ternyata rasa malu yang terus saja kuberikan pada orang-orang yang kusayang.

Siapa aku? Haruskah mengulang tanya yang sama, seperti dalam kisah milik Bapak pengalung kapak pada berhala terbesar di hadapannya? Sedangkan kini aku turut mengambil sarinya. Saat menatap bulan, memandangi mentari pagi, mencoba juga menghitung bintang seperti yang dilakukan bocah cilik difilm Kuch-kuch hota hai, menyentuh embun yang menggantung di ujung daun poring. Aku mengerti, Baxy. Bahwa kita adalah sama-sama dalam penciptaan, berbagi peran, menempati porsi dalam penyembahan. Jika butiran debu pun bertasbih pada Pencipta-nya, lalu mengapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama?

Seperti Al - Fatih menjemput takdirnya sebagai pemimpin terbaik. Dengan menyebut nama Tuhan-nya yang Mahabesar-lah yang ia pilih sebagai pembuka hunusan pedang. Tuhan yang Mahabesar, menyempurnakan agama terakhir dengan pemberian nama langsung dari–Nya.

 Islam, Baxy. Bukan Sunny ataupun Syi’ah, bukan sebatas NU, Muhamadiyah, Lemkari atau entah masih ada berapa banyak nama lagi. Hanya Islam, bukan Hambali, Syafi’i, Maliki, ataupun Wahabi yang menjadi utusan terakhir, karena mereka hanyalah penerus yang setia, menapaki jalan para ‘alim pendahulunya.

Ah, bolehkah aku memohon pada selain Alloh, Baxy? Meminta mereka yang memiliki gelar ‘alim dan ulama, para pejuang tauhid dan penjaga Sunnah, untuk mengenalkan rupa Islam yang sesungguhnya. Bantu aku untuk buktikan pada dunia bahwa Islam itu memang indah. Kenapa hanya memilih meneladani keberanian Umar untuk menghidupkan dan menegakkan kembali agama Islam, jika kelembutan hati Abu Bakar juga dapat dihadirkan sebagai penyeimbang? Menjadi saksi menyatunya kembali kewajiban dan indahnya Islam di atas muka bumi ini. Aku ingin sekali bisa menyaksikannya saat semua itu terjadi, Baxy.

Komentar

Postingan Populer